1.andaikata aku seorang belanda
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda
berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan
kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari
kalangan nasionalis, termasuk Suardi Suryaningrat. Ia kemudian menulis
"Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua,
tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom Ki Hajar Dewantara (Suardi
Suryaningrat) yang paling terkenal adalah "Andaikata Aku Seorang
Belanda" (judul asli: "Als ik eens Nederlander was"), dimuat
dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker, tahun 1913. Isi artikel ini
terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan
tersebut antara lain sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda,
aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah
kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan
saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja
sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan
saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang
terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan
bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada
kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat Belanda
menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Suardi Suryaningrat sendiri karena
gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar
ia yang menulis, mereka menganggap Douwes Dekker berperan dalam memanas-manasi
Suardi untuk menulis dengan gaya demikian.
2.faktor intern
Bagi negara-negara di Asia dan
Afrika, abad ke-20 merupakan abad nasionalisme, yaitu suatu kurun waktu yang
ditandai dengan pertumbuhan kesadaran sebagai suatu bangsa serta gerakan
nasionalis untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Tak terkecuali di Indonesia,
awal abad ke-20 kebangkitan nasionalisme mulai muncul yang dimanifestasikan
dalam bentuk pergerakan nasional.
Proses kebangkitan pergerakan
nasional Indonesia dipengaruhi atau dipercepat oleh beberapa faktor, baik
faktor dari dalam (intern) maupun faktor dari luar (ekstern). Faktor intern
timbulnya pergerakan nasional Indonesia sebagai berikut:
a.
Penderitaan
rakyat Indonesia akibat penjajahan Belanda
Secara
ekonomi, Belanda mulai berkuasa di Indonesia sejak tahun 1602 dengan
didirikannya VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Dengan sistem monopoli
perdagangan, Belanda mengeruk kekayaan Indonesia untuk kemudia dipergunakan
membangun negaranya yang miskin. Ketika VOC dibubarkan dalam tahun 1799, telah
meninggalkan penderitaan bagi rakyat Indonesia dalam lapangan ekonomi.
Penderitaan dan kesengsaraan rakyat
semakin meningkat dengan diberlakukannya Cultuur Stelsel (Sistem Tanam Paksa)
pada tahun 1833 hingga rahun 1870. Tak terhitung banyaknya korban akibat sistem
ini. Dihapuskannya Cultuur Stelsel pada tahun 1870 tidak mengurangi penderitaan
rakyat Indonesia. Politik Drainase (mengeruk kekayaan sebesar-besarnya) yang
diberlakukan sejak tahun 1870 justru semakin menyengsarakan rakyat.
Memasuki abad ke-20 meskipun
terlihat kemajuan dalam bidang pendidikan akibat diterapkannya Politik Etis,
namun sebenarnya tidaklah mengurangi beban penderitaan rakyat. Golongan
cendekiawan dan terpelajar yang menyadari hal ini, lalu mengupayakan cara untuk
segera mengakhiri penjajahan Belanda di Indonesia. Belajar dari kegagalan
perlawanan masa lampau, mereka kemudian memikirkan untuk melakukan perjuangan
secara terpadu, tidak hanya bertumpu pada kharisma pemimpin, dan ditempuh
dengan cara yang lebih modern, yakni melalui organisasi pergerakan nasional.
b.
Timbulnya
lapisan sosial baru dalam masyarakat
Pada akhir
abad ke-19, Belanda mulai menjalankan politik pintu terbuka (Open deur
Politiek) di wilayah jajahannya. Kebijakan yang dilatari oleh tuntutan kaum
humanis dan golongan liberal yang berkuasa di negeri Belanda ini, bermakna
bahwa di Hindia Belanda telah terjadi perubahan imperialisme, dari imperialisme
kuno ke imperialisme modern.
Politik kolonial yang kurang
memperhatikan kesejahteraan rakyat mengundang berbagai kritik, terutama dari
van Deventer. Karangannya yang berjudul “Een Eerschuld” (Debt of Honour
atau Suatu Hutang Budi) kemudian menjadi landasan pelaksanaan Etische
Politiek (Politik Etis). Salah satu realisasi dari Politik Etis ini adalah
didirikannya sekolah-sekolah di Indonesia. Sekolah yang pertama bernama Klerken
School yang khusus disediakan untuk calon-calon pegawai Belanda dan kaum modal
asing.1)
Imperialisme modern yang dijalankan
oleh Belanda ini menyebabkan munculnya suatu lapisan baru dalam masyarakat
Indonesia, yaitu golongan terpelajar (cendekiawan), para pegawai pemerintah
Belanda, dan para pedagang atau pengusaha tingkat menengah. Ketiga golongan
baru ini merupakan lapisan menengah (middle class) dalam stratifikasi
masyarakat kolonial. Lapisan bawah adalah para petani, pedagang kecil, dan
pegawai rendahan yang merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia yang
umumnya hidup melarat. Sedangkan lapisan atas dimonopoli oleh bangsa kulit
putih (Belanda).
Dari lapisan sosial baru inilah
muncul pemimpin-pemimpin rakyat yang menjadi pelopor perjuangan dalam bentuk
pergerakan nasional. Misalnya golonga terpelajar mendirikan organisasi Budi
Utomo di Indonesia dan Indische Vereeniging di Belanda pada tahun 1908.
Golongan pedagang mendirikan SDI (Sarekat Dagang Islam) pada tahun 1905. Dan
para pegawai Hindia Belanda membentuk PPPB (Persatuan Pegawai Pegadaian Bumi
Putera) dalam tahun 1914.2) Ketiga golongan ini, terutama golongan terpelajar
memainkan peran yang sangat besar dalam dekade awal pertumbuhan pergerakan
nasional.
c.
Undang-undang
Desentralisasi
Pada tahun-tahun permulaan abad
ke-20, pasifikasi terhadap daerah-daerah di luar Jawa telah berakhir, sehingga
terwujud Pax Neerlandica, yakni suatu wilayah jajahan yang luas dan
dikuasai oleh Belanda secara aman dan terkendali. Keadaan ini diikuti pula
dengan perkembangan ekonomi yang pesat dan perluasan jabatan-jabatan pemerintah
kolonial secara besar-besaran di Indonesia.
Penguasaan terhadap daerah yang amat
luas itu tidak mungkin lagi dapat diselenggarakan secara baik oleh pemerintah
pusat di Batavia. Untuk mengatasinya dikeluarkanlah Undang-undang Desentralisasi
1903 yang antaranya berisi tentang pembentukan kotapraja (gemeente atau haminte)
dan dewan-dewan kotapraja. Kebijakan ini memperkenalkan rakyat Indonesia akan
tata cara demokrasi yang modern.3)
Dengan adanya Undang-undang
Desentralisasi tersebut pemerintah mulai memberikan otonomi yang lebih banyak
kepada pemerintah daerah dan mendirikan badan-badan perwakilan rakyat.
Orang-orang Indonesia juga diberi kesempatan untuk duduk dalam Dewan Perwakilan
Rakyat Lokal bersama-sama dengan orang-orang kulit putih dan ikut serta dalam
pemerintahan daerah meskipun dengan hak-hak yang terbatas.
Sebenarnya UU tersebut hanya
mewujudkan demokratisasi dalam arti minimal. Dewan-dewan daerah tidak mampu
mencapai rakyat, karena anggotanya meyoritas orang-orang kulit putih seperti
yang dikutip oleh Sartono Kartodirdjo bahwa Dewan Haminte Batavia terdiri atas
15 orang Eropa, 7 orang pribumi, dan 3 orang timur asing.4)
Meskipun demikian, kesempatan
tersebut dipergunakan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia. Keterlibatan mereka
dalam pemerintah daerah memberi pengalaman berharga dalam bidang politik serta
menimbulkan harga diri sebagai bangsa yang sederajat dengan bangsa kulit putih.
Hal ini kemudian menjadi salah satu faktor pendorong timbulnya pergerakan
nasional.
d.
Aksi
golongan peranakan
Golongan peranakan atau golongan
Indo merupakan golongan tersendiri dalam struktur masyarakat kolonial yang
terjadi akibat perkawinan campuran antara Belanda dengan wanita pribumi yang
biasanya berstatus sebagai gundik.
Secara formal golongan Indo masuk
status Eropa dan mereka cenderung untuk mengidentifikasikan diri sebagai bangsa
kulit putih sehingga menjauhkan dirinya dari lapisan masyarakat pribumi.
Umumnya mereka bekerja dalam kemiliteran, pegawai menengah pada
instansi-instansi pemerintah atau perusahaan swasta asing. Namun di kalagan
Belanda sendiri ada diskriminasi antara totok dan Indo, yang tidak semata-mata
berdasarkan kemurnian darah tapi juga karena perbedaan status sosialnya.5)
Perbedaan perlakuan oleh penjajah
Belanda menimbulkan perasaan tidak puas sehingga mendorong timbulnya rasa
persatuan untuk memperbaiki basib. Aksi golongan peranakan ini turut pula
memengaruhi kebangkitan pergerakan nasional Indonesia.
3.faktor ekstern
Pengaruh Gerakan Pan Islam
Pan Islamisme
dalam pengertian yang luas adalah kesadaran kesatuan umat Islam yang diikat
oleh kesamaan agama yang membentuk solidaritas sedunia, sedangkan dalam
pengertian khusus adalah gerakan yang bertujuan mempersatukan seluruh umat
Islam.1)
Gerakan reformasi Islam yang mula-mula berkembang di Timur Tengah ini adalah
sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan imperialisme Barat yang merajai Asia
pada awal abad ke-20. Dua tokoh terkemuka dari gerakan ini adalah Sayid
Jamaluddin al-Afgani dan Syekh Muhammad Abduh, kalau Jamaluddin al-Afgani
menekankan pada bidang politik, maka Syekh Muhammad Abduh mengutamakan
pembaharuan dalam bidang pendidikan menurut alam pikiran modern dengan tujuan
membangkitkan semangat umat Islam.
Pengaruh Pan Islam terhadap kebangkitan pergerakan nasional Indonesia
diceriterakan oleh Pieter Korver bahwa pada tahun-tahun permulaan abad ke-20,
suatu gerakan reformasi Islam yang berpengaruh mulai tumbuh di Indonesia,
sebagai suatu bagian yang hakiki dari perjuangan pergerakan nasional kepulauan
tersebut pada waktu itu. Diilhami oleh ahli fikir Islam yang berhaluan modern,
seperti Muhammad Abduh (1849-1905) dan Jamal Al-din Al-Afghani (1939-1897) di Timur
Tengah.2)
Selanjutnya Zaifuddin Zuhri juga
menegaskan bahwa pergerakan yang terjadi di Mesir sangat diperhatikan oleh para
pemimpin di Indonesia pada permulaan abad ke-20.3)
Sebagai bukti pengaruh gerakan Pan Islam terhadap Indonesia adalah munculnya organisasi
pergerakan nasional, seperti Al-Jam’iyat Al-Khairiyah (1906) dan Muhammadiyah
(1912).4)
Dengan demikian salah satu faktor
ekstern yang memengaruhi kebangkitan pergerakan nasional Indonesia adalah
gerakan Pan Islam yang diterima oleh jemaah haji dan para pelajar dan mahasiswa
Indonesia yang belajar pada pusaat-pusat pengetahuan di Timur Tengah yang
kemudian memasukkan dan menyebarkan pengaruh gerakan tersebut di Indonesia.
Pengaruh Kemenangan Jepang atas
Rusia (1905)
Perang Rusia-Jepang
(1904-1905) berakhir dengan kemenangan Jepang
ketika pasukan Jepang berhasil mengusir tentara Rusia di Manchuria dan
menghancurkan armada Baltik Rusia di laut Jepang. Sekalipun menuntut korban
jiwa yang sangat besar dalam suatu pertempuran di darat ketika merebut Port
Arthur, maupun dalam pertempuran laut di Tsushima, telah memperkuat kepercayaan
Jepang bahwa mereka mampu mengalahkan salah satu bangsa Eropa yang selama itu
dianggap mustahil dikalahkan oleh bangsa kulit berwarna.
Kemenangan itu juga membangkitkan
semangat bangsa Asia dan mengingkari indoktrinasi yang ditanamkan oleh bangsa
Barat selama itu bahwa hanya bangsa Eropalah yang serba bisa. Bangsa Asia sudah
ditakdirkan untuk menjadi jajahan bangsa Eropa. Kemenangan Jepang atas Rusia
telah membangunkan bangsa Asia, termasuk Indonesia, dari tidurnya yang telah
berabad-abad lamanya.5) Hal ini terlihat
dengan semakin meningkatnya perjuangan bangsa Asia melawan kolonialisme Barat
sesudah tahun 1905.
Pengaruh Pergerakan Nasional
Bangsa-bangsa di Asia
Pergerakan nasional Indonesia
merupakan bagian dari pergerakan umum bangsa-bangsa Asia menentang imperialisme
Barat pada abad ke-20. Sebelum kebangkitan nasional Indonesia, beberapa bangsa
di Asia telah membentuk pergerakan nasional dalam usaha melepaskan diri dari
belenggu penjajahan.
Tanda-tanda pertama kebangkitan
kesadaran nasional mulai terlihat di Jawa dengan berdirinya berbagai organisasi
pergerakan nasional yang pertama. Tak dapat disangkal bahwa pengaruh-pengaruh
dari luar berperan dalam mempercepat proses kebangkitan tersebut. Gerakan Turki
Muda, revolusi Cina,
dan gerakan nasional di
negara-negara tetangga, seperti India dan Filipina, memberi pengaruh besar
terhadap perkembangan nasionalisme tersebut, memperbesar kesadaran nasional dan
menyebabkan bangsa Indonesia memiliki rasa harga dirinya kembali.
4.sebab periode radikal
Periode radikal merupakan puncak
perjuangan pergerakan nasional. Pada periode ini pergerakan nasional dengan
tegas mengajukan tuntutannya, yakni Indonesia merdeka dan menolak kerjasama
dengan pemerintah kolonial. Mereka beranggapan bahwa dalam upaya melawan
imperialisme Belanda, tidak ada alternatif lain, kecuali bergantung pada
kemampuan dan kekuatan sendiri. Sistem kolonial harus diubah secara radikal dan
hal ini hanya dapat dilakukan bila mereka menolak kerjasama dengan pemerintah
Hindia Belanda. Karena itulah pergerakan nasional pada periode ini, umumnya
berlandaskan pada asas perjuangan non kooperasi. Penyebab organisasi pergerakan
bersikap radikal adalah sebagai berikut:
a.
Pengaruh
Revolusi Rusia 1917
Pada tahun 1917, golongan Sosial
Demokrat Rusia mengadakan kudeta terhadap pemerintah dan berakhir dengan
kemenangan pihak komunis dengan mendirikan Republik Rusia yang berhaluan
komunis. Peristiwa ini membwa pengaruh terhadap bangsa-bangsa yang terjajah,
terlebih setelah dikeluarkannya manifes Partai Komunis Rusia tahun 1919 bahwa
bangsa yang terjajah hanya dapat dibebaskan dengan membebaskan kaum buruh di
Eropa.
Manifes Partai Komunis Rusia
mempengaruhi perkembangan PKI di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada kongres
PKI tahun 1920 yang menghasilkan dua keputusan penting, sebagai berikut:
- Keputusan yang menyatakan dengan tegas, bahwa PKI di Indonesia menggabungkan diri pada Communistische Internationale (Comintern)
- Mengenai sikap ke dalam yakni mengenai turut atau tidaknya PKI dalam Volksraad. PKI mengambil keputusan dalam kongresnya bahwa PKI suka bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda dengan jalan mengirimkan anggotanya sebagai anggota-anggota dalam Volksraad.1)
Keputusan PKI untuk mengirimkan
wakilnya ke dalam Volksraad bukan berarti partai tersebut bersikap moderat. Itu
hanya merupakan taktik agar dapat melancarkan kritikannya secara terang-rerangan.
Dan memang pada kenyataannya keinginan itu ditolak oleh pemerintah Hindia
Belanda.
Sikap radikal PKI makin jelas
kelihatan dengan adanya keputusan kongres tersebut. Pada tahun 1922, pemimpin
PKI, Tan Malaka, mengerahkan buruh pegadaian suatu aksi pemogokan. Dan pada
tahun berikutnya, pemimpin PKI lainnya (Semaun) juga memimpin pemogokan buruh
trem dan kereta api. Kesmuanya ini menunjukkan sikap radikal PKI terhdap
pemerintah Hindia Belanda.
b.
Kekecewaan
terhadap Janji Nopember (November Belofte)
Pada tanggal 16 Nopember 1918,
partai-partai yang mempunyai wakil di Volksraad membentuk Konsentrasi Radikal.
Konsentrasi Radikal menuntut diadakannya perubahan dalam ketatanegaraan,
antara lain:
- Pembentukan Dewan Kerajaan yang terdiri dari wakil-wakil wilayah kerajaan (Nederland dan koloni-koloninya) dengan kedudukan dan hak yang sama;
- Mengubah Volksraad menjadi Parlemen dengan hak perundang-undangan dan budget; lain
- Mengubah Raad van Indie (Dewan India) menjadi Raad van Staat (semacam senat di Amerika Serikat);
- Kepala-kepala Departemen bertanggung jawab kepada Volksraad yang telah diubah menjadi parlemen;
- Perluasan otonomi sampai ke desa-desa dan daerah luar Jawa.2)
Banyaknya tuntutan dari kaum
pergerakan, khusunya Konsentrasi Radikal di Volksraad menyebabkan pemerintah
Hindia Belanda merasa kerepotan. Terlebih lagi saat itu golongan sosialis di
negeri Belanda yang dipimpin oleh Troelstra mengadakan kudeta. Gebernur Jenderal
van Limburg Stirum khawatir kalau keadaan ini dijadikan kesempatan oleh kaum
pergerakan untuk menumbangkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Untuk
menghilangkan kekhawatiran tersebut, van Limburg Stirum pada tanggal 18
Nopember 1918 menyampaikan pesan kepada Volksraad antara lain mengatakan janji
akan adanya keinginan pihak pemerintah untuk mengadakan perubahan
ketatanegaraan yang berarti dan secepatnya.3)
Janji ini kemudian dikenal dengan Janji Nopember (November Belofte).
Untuk membuktikan bahwa janji
tersebut sungguh-sungguh, selanjutnya dibentuk panitia peninjauan kembali
susunan kenegaraan Hindia Belanda. Hal ini oleh pihak Indonesia dianggap
sebagai tanda kemauan baik pemerintah menghadapi tuntutan rakyat Indonesia.
Setelah keadaan di negeri Belanda
dapat dikuasai kembali, bukannya janji tersebut berusaha direalisasikan, malah
van Limburg Stirum mendapat kecaman dari pemerintah Belanda karena mengeluarkan
janji tanpa persetujuan dari pemerintah pusat di Nederland. Hingga akhirnya
janji tersebut tidak pernah terwujud seperti yang diharapkan oleh pihak
Indonesia.
Kekecewaan terhadap Janji Nopember
ini menyebabkan kaum pergerakan mengambil sikap radikal. Mereka sadar bahwa
kemerdekaan tidak mungkin tercapai dengan menggantungkan harapan kepada Belanda.
c.
Pengaruh
Doktrin Wilson
Perang Dunia (1914-1918) telah
membawa pergeseran peta politik di hampir seluruh dunia, terutama setelah
dikeluarkannya Doktrin Wilson (Wilson’s Fourteen Points). Salah satu pasal
disebutkan tentang hak seluruh bangsa menentukan nasibnya sendiri (right of
self determinatioan). Semboyan ini menggema di seluruh dunia terutama di tanah
jajahan, sehingga menimbulkan harapan yang besar.4)
Didasari oleh pernyataan tersebut,
organisasi pergerakan nasional Indonesia mulai menunjukkan sikap radikalnya
terhadap pemerintah Hindia Belanda. Misalnya Indonesische Vereeniging sejak
tahun 1922 mengemukakan asas perjuangannya, yaitu self-help (menolong
diri sendiri) dan self-reliance (percaya pada diri sendiri).
… politik meminta-minta akan ditinggalkan
dan sebagai politik terahadap pemerintah yang tidak mau mengindahkan ucapan
Wilson akan dijalankan politik non-kooperasi atau tidak bekerjasama dengan
pemerintah penjajah. Nasionalisme yang radikal harus dijadikan senjata yang
tajam dan ampuh dalam perjuangan oleh bangsa-bangs yang terjajah dan semboyan
“Hak menentukan nasib sendiri”, dijadikan dasar yang sah untuk tuntutan dengan
ditopang oleh tekad yang bulat dan tenaga yang besar dan kuat dan tersusun
baik.5)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Doktrin Wilson turut pula memengaruhi sehingga pergerakan nasional bersikap
radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda.
d.
Perubahan
pasal 111 RR (Regerings Reglement)
Pasal 11 Regerings Reglement atau
Peraturan Pemerintahan yang mulai diberlakukan di Hindia Belanda sejak tahun
1854 berisi tentang larangan mengadakan perkumpulan yang bersifat politik.
Itulah sebabnya organisasi pergerakan yang muncul di awal abad ke-20 umumnua
bersifat ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan agama. Walau demikian itu bukan
berarti bahwa organisasi tersebut tidak berorientasi politis, setiap pergerakan
yang programnya menuju kemajuan bangsanya tidaklah dapat dilepaskan dari
cita-cita politik.
Pada tanggal 1 September 1919 pasal
111 RR dirubah dalam arti hak berserikat diakui penuh, termasuk mengenai
perkumpulan politik meskipun hak tersebut dibatasi.6)
Hal ini berdasarkan Keputusan Raja (Koninklijk Besluit) tertanggal 17
Desember 1919 yang dalam pasal 3 melarang perkumpulan-perkumpulan yang tujuan
dirahasiakan dan yang oleh Gubernur Jenderal dinyatakan bertentangan dengan
keamanan umum.
Perubahan ini memberi kesempatan
bagi beridirinya organisasi politik, bagi organisasi pergerakan yang sudah ada
merupakan peluang untuk memainkan peran politis secara nyata. Organisasi-organisasi
pergerakan mulai melancarkan kritikan-kritikannya terhadap pemerintah Hindia
Belanda secara terang-terangan. Radikalisme dalam organisasi pergerakan
berkembang dan memainkan peran yang aktif selama dasawarsa 20-an.
e.
Pergantian
Gubernur Jenderal Hindia Belanda
Pada tahun 1921, Gubernur Jenderal
van Limburg Stirum berakhir masa jabatannya dan digantikan oleh D. Fock.
Gubernur Jenderal D. Fock bersikap sangat reaksioner terhadap pergerakan
nasional. Dia dilukiskan oleh kaum pergerakan sebagai seorang yang lebih banyak
memperlamban tempo daripada mengubah haluan. Sifat konsenvatif D. Fock ini
sangat mengherankan banyak pihak terutama kaum pergerakan, karena pada saat
menjabat sebagai Menteri Urusan Jajahan (1905-1908), ia menunjukkan sikap yang
etis terhadap pergerakan nasional. Kemungkinan sikap ini berkaitan dengan tugas
yang diembannya, harus menanggulangi krisis ekonomi dengan cara penghematan
anggaran tanah jajahan dan menaikkan pajak sebagai sumber keuangan negara, atau
memang sengaja didatangkan untuk membendung kemajuan organisasi pergerakan.
Sikap D. Fock tersebut menimbulkan
kekecewaan pada golongan terpelajar, karena harapannya D. Fock dakan memberi
arah baru bagi pergerakan, tetapi kenyataannya malah ada kecurigaan terhadap
organisasi pergerakan dan menentang perluasan kekuasaan pribumi. Cara
pemerintahan D. Fock bukannya melunakkan aktivitas kaum pergerakan, justru
sebaliknya kaum pergerakan semakin radikal.
f.
Pemakaian
kata “Indonesia” sebagai identitas bangsa
Kata “Indonesia” pertama kali digunakan
oleh organisasi Indonesische Vereeniging, yakni pada saat rapat pergantian
pengurus Indische Vereeniging dalam bulan April 1922. Rapat ini
menghasilkan keputusan penting, yaitu mengganti nama Indische Vereeniging
menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti nama
Nederland-Indie dengan Indonesia.7)
Sebelumnya kata tersebut pernah
dipakai oleh seorang ethnolog Inggris, Logan (1850) dalam tullisannya yang
berjudul “The Ethnology of Indian Archipelago”. Demikian pula dalam buku van Vollenhoven
dikenal kata-kata “Indonesier” dan afektif “Indonesisch”, tetapi kata Indonesia
sebagai tanah air adalah ciptaan Indonesische Vereeniging.
Kata “Indonesia” selanjutnya
diperkenalkan dan dimasyarakatkan, menggantikan kata “Indie” atau “Inlander” yang
digunakan Belanda. Kata ini memperlihatkan identitas kebangsaan yang lebih
tegas, semakin memperjelas adanya perbedaan antara bangsa Belanda sebagai
penjajah dan Indonesia sebagai yang terjajah.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaum
pergerakan menambahkan kata “Indonesia” di belakang nama partai mereka untuk
lebih mempertegas corak kenasionalan dan tujuan partai, seperti PKI (Partai
Komunis Indonesia) pada tahun 1924. PNI (Partai Nasional Indonesia) tahun 1927.
Dan lain-lain. Akhirnya “Indonesia” sebagai identitas bangsa diterima secara
menyeluruh oleh rakyat Indonesia setelah diikrarkannya Sumpah Pemuda pada
tanggal 28 Oktober 1928.
g.
Ikut
sertanya kaum buruh dalam pergerakan nasional
Pertumbuhan dan perkembangan
perjuangan buruh di Indonesia berjalan sejajar dengan perkembangan pergerakan
kebangsaan. Diawali dengan Serikat Buruh dari Perusahaan Kereta Api Negara pada
tahun 1905. Menyusul organisasi-organisasi buruh selanjutnya, seperti VSTP
(Vereeniging van Spoor en Trem Personeel) tahun 1908, PBP (Perhimpunan Bumi
Putera Pabean) dan lain-lain.
Pada tahun 1914 aliran sosialisme
yang revolusioner mulai tersebar di Indonesia. Aliran ini dipropagandakan oleh
seorang Belanda bernama Sneevliet yang datang ke Hindia Belanda sebagai
Sekretaris Kamar Dagang Semarang. Bersama dengan seorang Belanda lainnya, Adolf
Baars, mereka mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) dan
berusaha memperoleh pengikut di kalangan orang Indonesia, di antaranya Semaun
dan Darsono yang merupakan anggota Sarekat Islam.
Dengan taktik infiltrasi, mereka
berhasil mempengaruhi Sarekat Islam sehingga partai tersebut akhirnya terpecah
menjadi dua aliran, yaitu aliran yang tetap mengutamakan keagamaan dan aliran
sosialis yang revolusioner. Aliran sosialis inilah yang menjadi cikal bakal
berdirinya PKI (Perserikatan Komunis India) pada tahun 1920. Kekuatan utamanya
terletak pada anggota-anggotanya yang berasal dari kalangan buruh, seperti
buruh trem dan kereta api, buruh pegadaian, buruh perkebunan, dan lain-lain.
Keikutsertaan kaum buruh dalam
pergerakan nasional sangat berarti. Kaum buruh senantiasa tampil sebagai ujung
tombak dalam perjuangan pergerakan nasional, khususnya pada periode radikal.
Mereka inilah yang diorganisir oleh PKI untuk menunjukkan sikap keradikalannya
terhadap pemerintah, seperti pemogokan buruh pegadaian (1922) dan pemogokan
buruh trem dan kereta api (1923).
makasihhhh banyak mas...saya sangat terbantu.
ReplyDelete