Di panti
asuhan aku dibesarkan, tak terasa umurku sudah 7 tahun. Ada sepasang
suami-istri yang ingin mengadopsiku. Mereka adalah keluarga Darwis Maulana.
Mereka berjanji akan menyekolahkanku hingga hayat menjemputnya. Dengan
mengucapkan basmalah, aku pun sah menjadi anak dari sepasang suami-istri
tersebut.
Sesampainya kami di rumah sepasang suami istri
tersebut, aku terkejut ketika melihat halaman rumah yang begitu luas, terlebih
ketika masuk ke dalam rumah mereka. “Wah, balla anne atau istana?”, pikirku.
“Nak, arennu
teai I Randi, ia mintu arennu rikamma-kamma iyya sitojeng-tojengna iyamintu
Ilham Maulana, rikamma-kamma inne kau anakku ko. Jari kau nukio ka tetta, bainengku
nukio amma. Anne ballaka, balla nu tonji. Iyangaseng kaparaluangnu utanggongi
ngaseng. “bajimi tetta”, kataku sambil mengangguk.
Orang tua
angkatku ini mengajarkan aku tentang berbagai hal yang berbau islami. Beliau
mengajarkanku tentang pentingnya shalat lima waktu, berpuasa, dan bersedekah
serta saling mengasihi antarsesama.
Alhamdulillah,
kini aku bersekolah. Tak terasa pengumuman kenaikan kelas, aku pun mendapat
predikat pertama di kelas. Selama enam tahun ini, aku berturut-turut mendapat
predikat pertama. Dan hasil akhir ujian nasional pun aku mendapat predikat
pertama diantara beberapa sekolah yang ada di Makassar. Aku mendapat hadiah
dari orang tua angkatku sebuah mobil mewah.
“Ya Allah,
sukkuruka mange ri karaeng allah taala ri nia’na nalomoangnga dalle rilinoa. Kutambai
pangissengangku siagang gau-gau kebajikang.”, ucapku sambil menangis dalam hati
karena teringat oleh kedua orang tua kandungku dan kukirimkan Al-Fatihah untuk
mereka.
Sekolah
favoritku adalah SMP 6 Unggulan Makassar. Aku diterima tanpa melalui jalur tes.
Itu berarti aku bebas tes. Di SMP juga aku sering mendapat peringkat pertama
sampai di ujian nasional pun aku mendapat peringkat pertama.
Aku
mengucapkan syukur. Terlintas dipikiranku, bahwa apa yang membuatku menjadi
nomor satu di sekolah bahkan di seluruh sekolah yang ada di kota Makassar. Padahal
cara belajarku, sama seperti teman-teman yang lain. Aku pun berkonsultasi
kepada orang tuaku. “iyaminne kapang passare battu ri batarayya, nak!”, ujar
ibuku.
Tak lama
kemudian, handphone ku berdering. SMS kosong masuk dari nomor yang tak ku
kenal. Aku pun menelponnya, dan yang menjawab adalah seorang gadis yang
bersuara cantik.
“kau sumpaeng
akkiring sms kah?, tanyaku.
“oh,iya.
Maaf nah salah pencet nomorka tadi. Sekali lagi maaf ka nah!”, kata gadis itu.
Suara
cantik itu terus menghantuiku. Sampai-sampai aku tak bisa tidur. Kemudian aku
berfikir kalau aku harus kenal sama gadis itu. Ternyata dia adalah gadis yang
tempat tinggalnya di Sengkang. Aku pun terus mengejarnya. Sekitar seminggu aku
kenalan sama dia, kuanggap dia sebagai sahabat. Aku pun sering curhat mengenai
masalah yang kuhadapi. Gadis itu menganjurkanku untuk tidak tidur larut malam,
berolahraga secara teratur dan menjaga pola makan dengan mengonsumsi banyak
sayuran hijau. Banyak bentuk perhatiannya diberikan padaku. Aku pun jatuh cinta
padanya.
Aku
memberitahukan gadis itu kepada orang tuaku, dan mereka menyetujui kalau aku
yang menjaganya dan melarangku untuk pacaran dengannya. Jika sudah waktunya,
aku akan dinikahkan dengannya.
“cantik, to-toaku
maui silaturahmi denganmu, bolehji?”, tanyaku lewat telpon.
“bagaimana caranya
maui bersilaturahmi sama saya, di sengkang ka saya tinggal sedangkan kita di
Makassarki. Kenapa orang tuata mau
bersilaturahmi sama saya, saya kodong
gadis desa sederhana ja’ nda cantik ja’ juga”, jawab gadis itu.
“ri
tangngalloa, samaka orang tuaku mau ke situ”.
“jangannmi!!!”,
seru gadis itu.
“angngapai?”,
/ “jangammi kesiyang”
Dengan
permohonan gadis itu, aku dan orang tuaku membatalkan silaturahmi kami.
Setelah
tamat di sekolah menengah pertama, aku melanjutkan pendidikanku di Surabaya.
Sebenarnya ini bukan keinginanku, melainkan kehendak kedua orang tuaku. Di
Surabaya, komunikasi ku dengan si gadis itu agak renggang. Karena aku tidak
diperbolehkan membawa handphone.
Setahun
sudah aku di Surabaya, aku menelepon kedua orang tuaku di Makassar. Pada saat
aku ingin menelfonnya, kaki aku tergelincir dan jatuh dari tangga. Kepalaku
kemudian terbentur dan berdarah. Aku segera dilarikan ke rumah sakit. Dokter memvonis
ku mengidap kanker otak stadium dua.
0 komentar:
Post a Comment