Hikayat
Hikayat Tanjung Lesung
Berhari-hari
bayangan mimpi itu tidak pernah bisa hilang dari ingatan Raden Budog. Lalu
diputuskannya bahwa dia akan pergi mengembara. Raden Budog pun segera
menyiapkan perbekalan untuk pengembaraannya. "Cek...cek...cek..., kita
akan mengembara, sayang," kata Raden Budog mengelus-elus anjing
kesayangannya yang melonjak-lonjak dan menggonggong gembira seolah mengerti
ajakan tuannya.
Raden Budog lalu
menghampiri kuda kesayangannya. "Kita akan mengembara jauh, sayang.
Bersiap-siaplah." Raden Budog membelai-belai kudanya yang meringkik
gembira. Kemudian Raden Budog menyiapkan golok dan batu asah yang selalu
dibawanya ke mana saja dia mengembara.
Setelah semuanya
dirasa siap, Raden Budog segera menunggang kuda kesayangannya, berjalan ke arah
utara. Di pinggangnya terselip golok panjang yang membuatnya tampak gagah dan
perkasa. Sedangkan tas anyaman dari kulit terep berisi persediaan makanan,
terselempang di bahunya. Sementara itu anjing kesayangannya berjalan di depan,
mengendus-endus mencari jalan bagi tuannya. Anjing itu kadang menggonggong
menghalau bahaya yang mengancam tuannya.
Lima hari perjalanan
telah ditempuhnya. Walaupun begitu Raden Budog belum juga mau turun dari
kudanya. Dia juga tidak menyadari badannya sudah lemah karena perutnya kosong,
begitu pula kudanya. Pikirannya cuma terbayang-bayang pada mimpinya di tepi pantai
itu. "Kapan dan di mana aku bisa bertemu gadis itu?" gumamnya dalam
hati.
Raden Budog terus
memacu kudanya menapaki jalan-jalan terjal dan mendaki hingga tiba di Gunung
Walang yang sekarang ini menjadi kampung Cimahpar. Tiba-tiba kudanya roboh.
Raden Budog terperanjat, mencoba menguasai keseimbangannya. Namun Budog
terperanjat, mencoba menguasai keseimbangannya. Namun karena sudah sama-sama
lemah, Raden Budog dari kudanIva berguling-guling di lereng gunung. Anjing
kesayangannya menggonggong cemas meningkahi ringkik kuda. Raden Budog segera
bangun, sekujur badannya terasa lemah dan nyeri.
Sejenak Raden Budog
istirahat di Gunung Walang. Dia membuka bekalnya dari makan dengan lahap.
Sementara itu kudanya mencari rumput segar sedangkan anjingnya berlarian kian
kemari memburu mangsanya, seekor burung gemak yang berjalan di semak-semak.
"Ayo kita
berangkat lagi!" Raden Budog berteriak memanggil kuda dan anjingnya. Namun
dilihatnya pelana kuda itu ternyata telah robek. Dengan terpaksa Raden Budog
menanggalkan pelana itu dan memutuskan untuk meneruskan perjalanannya dengan
berjalan kaki karena dia tidak biasa menunggang kuda tanpa pelana. Mereka terus
rnelangkah hingga tibalah di suatu tempat yang tinggi. Tali Alas namanya yang
sekarang disebut Pilar. Dari tempat inilah Raden Budog dapat melihat laut yang
biru membentang dengan pantainya yang indah.
Raden Budog kemudian
melanjutkan perjalanan ke pantai Cawar. Begitu sampai di pantai yang indah itu
Raden Budog segera berlari dan terjun ke laut, berenang-renang gembira.
Perjalanan yang begitu melelahkan Iitu seolah lenyap oleh segarnya air pantai
Cawar. Di muara sungai Raden Budog membilas tubuhnya. lalu dicarinva kuda dan
anjing kesayangannya untuk meneruskan pengembaraan.
"Ayo kita
berangkat lagi!" seru Raden Budog ketika dilihatnya kuda dan anjing
kesayangannya itu sedang duduk di tepi pantai.
Tidak seperti
biasanya, kuda dan anjing kesayangannya itu diam saja seolah tak perduli ajakan
tuannya. Raden Budog merasa heran. "Cepat berdiri! Ayo kita
berangkat"' Seru Raden Budog lagi.
Tapi kedua binatang
itu tetap duduk saja, tak bergerak sedikit pun. Anjing dan kuda itu tampak
sangat kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang, sehingga sekadar untuk
berdiri pun tak sanggup lagi.
"Aku harus
segera menemukan gadis pujaanku. Kalau kalian tidak mau menuruti perintahku dan
tetap diam seperti karang, akan kutinggalkan kalian di sini!" teriak Raden
Budog sambil meneruskan perjalanan, meninggalkan anjing dan kuda kesayangannya.
Namun kedua binatang itu tetap tidak bergeming dan menjelma menjadi karang.
Sampai sekarang di pantai Cawar terdapat karang yang menyerupai kuda dan anjing
sehingga disebut Karang Kuda dan Karang Anjing.
Maka Raden Budog
melanjutkan pengembaraannya seorang diri. Dalam benaknya telah ada kesayangan
lain yang ingin segera ditemukannya. Gadis pujaan yang muncul dalam mimpinya
itu benar-benar memenuhi benaknya, sehingga goloknya pun tertinggal di Batu
Cawar. Kini Raden Budog hanya membawa tas dari kulit terep beserta batu asah di
dalamnya. Sesampainya di Legon Waru, Raden Budog kembali merasakan kelelahan.
Sendi-sendi tubuhnya terasa lunglai. Tapi Raden Budog tidak ingin beristirahat
barang sebentar. Dia terus mencoba melangkah dengan sisa tenaganya.
"Benda ini
rasanya sudah tak berguna, hanya memberati pundakku saja. Lebih baik
kutinggalkan saja di sini," gumam Raden Budog. Diambilnya batu asah itu
dari dalam tasnya dan diletakkannya di tepi jalan. "Biarlah batu ini
menjadi kenangan," gumamnya lagi. Demikiamah, sampai saat ini di Legon
Waru terdapat sebuah karang yang dikenal dengan Karang Pengasahan.
Berhari-hari Raden
Budog terus mengembara menyusuri pesisir pantai. Wajah gadis yang menghiasi
mimpinya memenuhi pikirannya sepanjang perjalanan, menyalakan semangat dalam
dadanya. Rasa bosan, lelah dan letih tak dihiraukannya. Juga pakaiannya yang
mulai lusuh dan badannya yang berdebu. Suatu ketika hujan turun dengan
derasnya, Raden Budog berlindung di bawah pohon. Dari balik pasir, tiba-tiba
berhamburan penyu-penyu besar dan kecil menuju laut. Penyu-penyu itu seakan
gembira menyambut datangnya air hujan. Tempat itu kini dikenal dengan nama
Cipenyu. Sesaat kemudian Raden Budog melanjutkan perjalanannya setelah
mengambil daun pohon langkap yang dijadikannya sebagai payung agar tidak
kehujanan.
Namun hujan terus
melebat, tidak ada pertanda akan reda. Mendung tampak semakin menghitam dan
bergerak dari selatan menuju utara. "Mudah-mudahan ada gua di sekitar
sini. Aku harus berlindung dan beristirahat sejenak," gumam Raden Budog.
Dan betapa gembiranya Raden Budog ketika dilihatnya sebuah bukit karang yang
menjorok. Raden Budog pun mempercepat langkah dan masuk ke dalam gua.
Ditutupnya pintu gua dengan daun langkap sehingga gua itu pun menjadi gelap
gulita.
Beberapa saat Raden
Budog beristirahat melepas lelah sambil menunggu hujan reda. Tapi Raden Budog
merasa tidak nyaman berada dalam gua yang gelap gulita itu. Dibukanya daun
langkap yang menutupi pintu gua. Seberkas sinar menerobos masuk. Ternyata hujan
telah reda. Raden Budog pun keluar dan ditutupnya kembali mulut gua itu dengan
daun langkap. Sampai saat ini pintu gua itu tetap tertutup daun langkap yang
membatu dari dikenal dengan nama Karang Meumpeuk.
Tidak jauh dari
Karang Meumpeuk, tibalah Raden Budog pada sebuah muara sungai yang airnya
sangat deras. Hujan yang baru saja turun memang sangat lebat, sehingga tidak
mengherankan jika sungai-sungai menjadi banjir. Raden Budog terpaksa
menghentikan perjalanannya dan duduk di atas batu memandangi air sungai yang
meluap. Sayup-sayup terdengar bunyi lesung dari seberang sungai. Hati Raden
Budog berdebar dipenuhi rasa sukacita. Dia merasa yakin, di seberang sungai
terdapat kampung tempat tinggal gadis pujaannya yang selama ini dia cari.
"Dasar kali banjir!" gerutu Raden Budog tak sabar menunggu banjir
surut. Tempat ini sampai sekarang terkenal dengan Kali Caah yang berarti kali
banjir.
Karena sudah tidak
dapat menahan sabar, akhirnya Raden Budog menyeberangi sungai itu walaupun
dengan susah payah dan dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Di pitltu masuk
kampung, Raden Budog beristirahat, rnengitarkan pandang ke arah kampung.
Hatinya mulai merasa tenang karena merasa akan segera bertemu dengan gadis yang
dimimpikannya.
Di kampung itu
tinggallah seorang janda bernama Nyi Siti yang memiliki seorang anak gadis yang
sangat cantik. Sri Poh Haci namanya. Setiap hari Dri Poh Haci membantu ibunya
mnumbuk padi menggunakan lesung yang dipukul-pukulnya itu menimbulkan suara
yang sangat merdu dan indah. Oleh sebab itu, setiap kali selesai menumbuk padi,
Sri Poh Haci tidak segera berhenti, tapi terus memukul-mukul lesung itu hingga
terangkatlah nada yang merdu dan enak didengar. Dimulai dari sinilah akhirny
banyak gadis kampung yang berdatangan ke rumah Nyi Siti untuk ikut memukul
lesung bersama Nyi Poh Haci.
Kebiasaan memukul
lesung akhirnya menjadi tradisi kampung itu. Sri Poh Haci merasa gembira dapat
menghimpun gadis-gadis kampung bermain lesung. Permainan ini oleh Sri Poh Haci
diberi nama Ngagondang, yang kemudian dijadikan acara rutin setiap akan menanam
padi. Tapi pada setiap hari Jum’at dilarang membunyikan lesung, karena hari
Jum’at adalah hari yang keramat bagi kampung itu.
Raden Budog yang
sedang beristirahat di pintu masuk kampung kembali mendengar bunyi lesung yang
mengalun merdu. Kemudian dia berdiri dan melangkahkan kaki menuju ke arah
sumber bunyi-buny'in itu. Bunyi lesung terdengar semakin keras. Di dekat sebuah
rumah, dilihatnya gadis-gadis kampung sedang bermain lesung. Tangan mereka
begitu lincah dan trampil mengayunkan alu ke lesung, membentuk nada-nada
mempesona. Tapi yang lebih mempesonakan Raden Budog adalah seorang gadis
semampai yang cantik jelita. Gadis itu mengayunkan tangannya sekaligus memberi
aba-aba pada gadis-gadis lain. Rupanya gadis itu adalah pemimpin dari kelompok
gadis-gadis yang sedang bermain lesung itu.
Merasa ada yang
memperhatikan, gadis itu, Sri Poh Haci, memberikan syarat kepada gadis-gadis
lainnya untuk menghentikan permainan. Gadis-gadis itu pun bergegas pulang ke
rumah masing-masing. Begitu pula Sri Poh Haci. Di dalam rumah, ibunya bertanya
kepada Sri Poh Haci, mengapa permainannya hanya sebentar. Sri Poh Haci lalu
menceritakan bahwa di luar ada seorang lelaki tampan yang belum pernah
dilihatnya. "Laki-laki itu memperhatikanku terus. Aku jadi malu, Bu,"
kata Sri Poh Haci.
Sesaat kemudian,
terdengar suara ketukan pintu.
"Sampurasun."
"Rampes,"
jawab Nyi Siti seraya berjalan menuju pintu dan membukanya perlahan. Dilihatnya
seorang pemuda yang gagah lagi tampan berdiri di depan pintu.
Belum sempat Nyi
Siti berbicara, pemuda itu sudah mendahului membuka suara. "Maaf
mengganggu. Bolehkah saya menginap di rumah ini?"
Nyi Siti tentu saja
kaget mendengar permintaan dari orang yang tak dikenalnya. "Kisanak ini
siapa? Dari mana asalnya? Mengapa pula hendak menginap di sini? Saya belum
kenal dengan Kisanak," kata Nyi Siti.
"Oh, ya. Maaf,
saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Raden Budog. Saya seorang pengembara.
Saya tak punya tempat tinggal. Kebetulan saya sampai di kampung ini, dan kalau
diperbolehkan saya ingin menginap di sini," jelas Raden Budog.
"Maaf, Kisanak.
Saya seorang janda dan tinggal dengan anak perempuan saya satu-satunya. Saya
tidak berani menerima tamu laki-laki, apalagi sampai menginap," jawab Nyi
Siti dengan tegas dan segera menutup pintu.
Hari sudah mulai
gelap. Raden Budog yang merasa kesal oleh kejadian yang baru saja dialaminya
berjalan menuju bale-bale bambu di dekat rumah Nyi Siti. Dia merebahkan
tubuhnya dan segera tertidur pulas. Dia pun bermimpi diijinkan menginap di
rumah itu. Bukan oleh Nyi Siti yang menyebalkan itu, tapi oleh seorang gadis
cantik yang dia temui dalam mimpinya di pantai selatan, gadis yang tadi
dilihatnya sedang bermain gondang. Ah, betapa senangnya hati Raden Budog.
Namun waktu begitu
cepat berlalu. Matahari mulai muncul di ufuk timur. Raden Budog terbangun,
mengusap-usap matanya yang masih mengantuk. Hidungnya mencium wangi kopi yang
menyegarkan. Kemudian dilihatnya seorang gadis cantik menyuguhkan segelas kopi
di sampingnya.
"Minum dulu
kopinya, Raden," kata gadis itu.
"Kamu siapa?
Dari mana kamu tahu namaku?" tanya Raden Budog, walau sesungguhnya dia
tahu bahwa gadis itu pastilah anak Nyi Siti.
"Namaku Sri Poh
Haci, anak Nyi Siti.”
Hari berganti hari.
Kedua insan itu pun jatuh cinta. Nyi Siti sebenarnya tidak setuju bila anaknya
dipinang oleh orang yang tidak diketahui asal-usulnya, apalagi orang itu
kelihatan keras kepala. Tapi Nyi Siti juga tidak ingin mengecewakan hati Sri
Poh Haci, anaknya yang semata wayang itu. Akhirnya Raden Budog menikah dengan
Sri Poh Haci. Kesenangan Sri Poh Haci menabuh lesung tetap dilanjutkan bersama
gadis-gadis kampung. Bahkan Raden Budog sendiri menjadi sangat mencintai bunyi
lesung dan turut memainkannya. Hingga suatu ketika, terjadilah peristiwa yang
tidak diinginkan sama sekali oleh penduduk kampung itu. Karena sangat senangnya
terhadap bunyi lesung, Raden Budog yang keras kepala itu setiap hari tidak mau
berhenti menabuh lesung.
Hari itu hari
Jum'at. Raden Budog kembali hendak menabuh lesung. Para tetua kampung
memperingatkan dan melarang Raden Budog. Tapi Raden Budog tidak perduli dan
tetap menabuh lesung. Dengan hati girang dan bersemangat, Raden Budog terus
menabuh lesung seraya melompat-lompat kian kemari.
"Lihat, lihat!
Ada lutung memukul lesung! Ada lutung memukul lesung!" Penduduk kampung
berteriak-teriak melihat seekor lutung sedang memukul-mukul lesung.
Raden Budog
terperanjat mendengar teriakan-teriakan Itu. Dia melihat ke sekujur tubuhnya.
Betapa kagetnya dia setelah melihat tangarnnya penuh bulu. Begitu pula kakinya.
Dirabanya mukanya yang juga telah ditumbuhi bulu. Raden Budog pun lari
terbirit-birit masuk ke dalam hutan di pinggir kampung itu. Raden Budog menjadi
lutung. Penduduk kampung itu menamainya Lutung Kesarung.
Sri Poh Haci sangat
malu dengan kejadian itu. Diam-diam dia pergi meninggalkan kampung. Konon Sri
Poh Haci menjelma menjadi Dewi Padi. Demikianlah ceritanya, kampung itu pun
terkenal dengan sebutan Kampung Lesung dan karena letaknya di sebuah tanjung,
orang-orang kemudian menyebutnya Tanjung Lesung.
ANALISIS
Pengertian
-
Hikayat adalah salah satu bentuk
sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu dan umumnya mengisahkan tentang
kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian atau
mukjizat tokoh utama.
-
Cerita rakyat adalah cerita pada
zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat dan diwariskan secara turun-temurun
dari generasi satu generasi ke generasi berikutnya.
Perbedaan
-
Hikayat
dibuat berdasarkan kehidupan kerajaan sehingga nilai kebenarannya masih tetap
ada. Sedangkan cerita rakyat adalah cerita yang tidak benar-benar terjadi, semua
isi cerita adalah karangan dan fiktif belaka yang mengisahkan tentang suatu
kejadian di suatu tempat atau asal muasal suatu tempat.
-
Pada hikayat, banyak menggunaka
kosakata yang kini tidak lazim digunakan dalam komunikasi sehari–hari karena
menggunakan bahasa melayu. Sedangkan pada cerita rakyat, umumnya mudah dipahami
dan merupakan kosakata sehari-hari kita.
-
Pada hikayat sulit memahami jalan
ceritanya. Sedangkan pada cerita rakyat umumnya mudah dipahami oleh si pembaca.
-
Mempergunakan
banyak kata arkais (klise). Misalnya, hatta, syahdan, sahibul hikayat, menurut
empunya cerita, konon, dan tersebutlah perkataan. Sedangkan pada cerita rakyat
dimulai dengan pada zaman dahulu kala.
Persamaan
-
Keduanya memiliki fungsi yang sama
yaitu sebagai pelipur lara.
-
Hikayat dan cerita rakyat dapat
dijadikan suri tauladan terutama yang mengandung pesan-pesan moral.
-
Keduanya merupakan karya sastra.
0 komentar:
Post a Comment