My Comunity

Komunitas Blogger Wajo

Home » » Hingga Akhir Waktu

Hingga Akhir Waktu



Hingga akhir waktu

Ini adalah cerita hidupku yang mungkin kalian tak percaya. Tapi inilah sesungguhnya. Sebut saja namaku adalah Randi. Aku terlahir dengan keluarga yang amat sangat sederhana. Ketika aku berusia 2 bulan 10 hari, aku diserahkan ke panti asuhan dengan alasan orang tuaku tak mampu menghidupiku. Tak cukup seminggu aku berada di panti asuhan, terdengar kabar bahwa kedua orangtuaku telah meninggal. Ayahku mengidap penyakit kanker paru-paru. Saking cintanya ibuku terhadap ayahku, dia tega membunuh dirinya sendiri.
Di panti asuhan aku dibesarkan, tak terasa umurku sudah 7 tahun. Ada sepasang suami-istri yang ingin mengadopsiku. Mereka adalah keluarga Darwis Maulana. Mereka berjanji akan menyekolahkanku hingga hayat menjemputnya. Dengan mengucapkan basmalah, aku pun sah menjadi anak dari sepasang suami-istri tersebut.
 Sesampainya kami di rumah sepasang suami istri tersebut, aku terkejut ketika melihat halaman rumah yang begitu luas, terlebih ketika masuk ke dalam rumah mereka. “Wah, balla anne atau istana?”, pikirku.
“Nak, arennu teai I Randi, ia mintu arennu rikamma-kamma iyya sitojeng-tojengna iyamintu Ilham Maulana, rikamma-kamma inne kau anakku ko. Jari kau nukio ka tetta, bainengku nukio amma. Anne ballaka, balla nu tonji. Iyangaseng kaparaluangnu utanggongi ngaseng. “bajimi tetta”, kataku sambil mengangguk.
Orang tua angkatku ini mengajarkan aku tentang berbagai hal yang berbau islami. Beliau mengajarkanku tentang pentingnya shalat lima waktu, berpuasa, dan bersedekah serta saling mengasihi antarsesama.
Alhamdulillah, kini aku bersekolah. Tak terasa pengumuman kenaikan kelas, aku pun mendapat predikat pertama di kelas. Selama enam tahun ini, aku berturut-turut mendapat predikat pertama. Dan hasil akhir ujian nasional pun aku mendapat predikat pertama diantara beberapa sekolah yang ada di Makassar. Aku mendapat hadiah dari orang tua angkatku sebuah mobil mewah.
“Ya Allah, sukkuruka mange ri karaeng allah taala ri nia’na nalomoangnga dalle rilinoa. Kutambai pangissengangku siagang gau-gau kebajikang.”, ucapku sambil menangis dalam hati karena teringat oleh kedua orang tua kandungku dan kukirimkan Al-Fatihah untuk mereka.
Sekolah favoritku adalah SMP 6 Unggulan Makassar. Aku diterima tanpa melalui jalur tes. Itu berarti aku bebas tes. Di SMP juga aku sering mendapat peringkat pertama sampai di ujian nasional pun aku mendapat peringkat pertama.
Aku mengucapkan syukur. Terlintas dipikiranku, bahwa apa yang membuatku menjadi nomor satu di sekolah bahkan di seluruh sekolah yang ada di kota Makassar. Padahal cara belajarku, sama seperti teman-teman yang lain. Aku pun berkonsultasi kepada orang tuaku. “iyaminne kapang passare battu ri batarayya, nak!”, ujar ibuku.
Tak lama kemudian, handphone ku berdering. SMS kosong masuk dari nomor yang tak ku kenal. Aku pun menelponnya, dan yang menjawab adalah seorang gadis yang bersuara cantik.
“kau sumpaeng akkiring sms kah?, tanyaku.
“oh,iya. Maaf nah salah pencet nomorka tadi. Sekali lagi maaf ka nah!”, kata gadis itu.
Suara cantik itu terus menghantuiku. Sampai-sampai aku tak bisa tidur. Kemudian aku berfikir kalau aku harus kenal sama gadis itu. Ternyata dia adalah gadis yang tempat tinggalnya di Sengkang. Aku pun terus mengejarnya. Sekitar seminggu aku kenalan sama dia, kuanggap dia sebagai sahabat. Aku pun sering curhat mengenai masalah yang kuhadapi. Gadis itu menganjurkanku untuk tidak tidur larut malam, berolahraga secara teratur dan menjaga pola makan dengan mengonsumsi banyak sayuran hijau. Banyak bentuk perhatiannya diberikan padaku. Aku pun jatuh cinta padanya.
Aku memberitahukan gadis itu kepada orang tuaku, dan mereka menyetujui kalau aku yang menjaganya dan melarangku untuk pacaran dengannya. Jika sudah waktunya, aku akan dinikahkan dengannya.
“cantik, to-toaku maui silaturahmi denganmu, bolehji?”, tanyaku lewat telpon.
“bagaimana caranya maui bersilaturahmi sama saya, di sengkang ka saya tinggal sedangkan kita di Makassarki.  Kenapa orang tuata mau bersilaturahmi sama saya, saya kodong  gadis desa sederhana ja’ nda cantik ja’ juga”, jawab gadis itu.
“ri tangngalloa, samaka orang tuaku mau ke situ”.
“jangannmi!!!”, seru gadis itu.
“angngapai?”, / “jangammi kesiyang”
Dengan permohonan gadis itu, aku dan orang tuaku membatalkan silaturahmi kami.
Setelah tamat di sekolah menengah pertama, aku melanjutkan pendidikanku di Surabaya. Sebenarnya ini bukan keinginanku, melainkan kehendak kedua orang tuaku. Di Surabaya, komunikasi ku dengan si gadis itu agak renggang. Karena aku tidak diperbolehkan membawa handphone.
Setahun sudah aku di Surabaya, aku menelepon kedua orang tuaku di Makassar. Pada saat aku ingin menelfonnya, kaki aku tergelincir dan jatuh dari tangga. Kepalaku kemudian terbentur dan berdarah. Aku segera dilarikan ke rumah sakit. Dokter memvonis ku mengidap kanker otak stadium dua.

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Labels