My Comunity

Komunitas Blogger Wajo

Makalah sikap bahasa



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pemilihan bahasa (language choice) lazimnya lahir akibat penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat bilingual (dwibahasa) atau multilingual (multibahasa). Dalam pemilihan bahasa, kekeliruan dalam peristiwa pemilihan bahasa atau ragam bahasa yang cocok dengan situasi komunikasi itu tidak dapat dihindari, dan kekeliruan tersebut dapat berakibat kerugian bagi peserta komunikasi. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dikaji tentang sikap bahasa dan pemilihan bahasa yang mungkin kajian ini akan bermanfaat dalam memberikan wawasan tentang peristiwa komunikasi dalam masyarakat multibahasa di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa sikap bahasa itu?
2. Apa pemilihan bahasa itu?
3. Bagaimana perspektif sosiolinguistik tentang pemilihan bahasa?
4. Apa saja faktor-faktor penentu pemilihan bahasa?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui tentang sikap bahasa.
2. Mengetahui tentang pemilihan bahasa.
3. Mengetahui perspektif sosiolinguistik tentang pemilihan bahasa.
4. Mengetahui faktor-faktor penentu pemilihan bahasa.
BAB II
PEMBAHASAN
SIKAP BAHASA DAN PEMILIHAN BAHASA
Sikap bahasa adalah hal yang penting dalam kaitanya dengan suatu bahasa karena sikap bahasa dapat melangsungkan hidup suatu bahasa. Berikut ini akan dibahas apa yang dimaksud dengan sikap bahasa dan bagaimana kaitanya dengan pemilihan suatu bahasa
A.    Sikap Bahasa
Sikap bahasa adalah anggapan atau pandangan seseorang terhadap suatu bahasa, apakah senang atau tidak terhadap bahasa tersebut, sehingga sikap bahasa mempengaruhi terhadap pemilihan bahasa.
Lambert menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan dan gagasan yang digunakan dalam proses berfikir.
b. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian suka atau tidak suka terhadap sesuatu.
c. Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai putusan akhir melalui komponen inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap keadaan yang dihadapinya.
Melalui ketiga komponen inilah, orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan yang sedang dihadapinya. Ketiga komponen sikap ini (kognitif, afektif, dan konatif) pada umumnya berhubungan dengan erat. Namun, seringkali pengalaman “menyenangkan’ atau “tidak menyenangkan” yang didapat seseorang di dalam masyarakat menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak sejalan. Apabila ketiga komponen itu sejalan, maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukkan sikap. Tetapi kalau tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap. Banyak pakar yang memang mengatakan bahwa perilaku belum tentu menunjukkan sikap.
Dewasa ini ada tiga ciri sikap bahasa sebagai berikut:
1) Kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa memepertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain.
2) Kebangaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakanya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
3) Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong yang mendorong orang mengunakan bahasanya dengan cermat dan santun dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan kegunaan bahasa (languagae use).
B. Pemilihan Bahasa
Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) adalah memilih “sebuah bahasa secara keseluruhan” dalam suatu komunikasi. Dalam masyarakat multibahasa tersedia berbagai kode, baik berupa bahasa, dialek, variasi, dan gaya untuk digunakan dalam interaksi sosial. Untuk istilah terakhir, Kartomihardjo lebih suka mempergunakan istilah ragam sebagai padanan dari style. Dengan tersedianya kode-kode itu, anggota masyarakat akan memilih kode yang tersedia sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam interaksi sehari-hari, anggota masyarakat secara konstan mengubah variasi penggunaan bahasanya.
Dalam sebuah Negara, berlaku penggunaan dwibahasa dan setiap individu mengetahui lebih dari satu bahasa. Dalam masyarakat dwilingual atau multilingual, masyarakat harus memilih bahasa mana yang harus digunakan. Dalam hal pilihan ini ada tiga jenis pilihan yang dapat digunakan:
1. Alih kode, yaitu menggunakan suatu bahasa pada suatu keperluan dan bahasa lain pada keperluan yang lain.
2. Campur kode, yaitu menggunakan bahasa tertentu dengan dicampuri sebagian dari bahasa lain.
3. Dengan memilih variasi bahasa yang sama.
Ketiga pilihan ini dapat dilakukan dengna mudah, tetapi malah terkadang sulit untuk dilakukan karena kesulitan membedakan antara alih kode dan campur kode. Seseorang yang melakukan pemilihan bahasa dalam komunikasinya sebenarnya sedang menerapkan kompetensi komunikatifnya, atau sedang menunjukkan performansi komunikatifnya. Sebagai perilaku, pemilihan bahasa hakikatnya merupakan tindakan atau perilaku dalam menggunakan bahasa terpilih berdasarkan situasi yang tersedia. Karena itu, Fasold (1984) menggunakan istilah “perilaku pilihan bahasa.”
Dalam memahami pemilihan bahasa, para psikolog memiki pandangan yang berbeda. Penutur menerapkan asumsi dasar tentang potensi linguistic lawan bicaranya dalam masyarakat dwilingual atau multilingual. Hal ini didasarkan pada teori akomodasi bahasa, yaitu ketika penutur mengalami proses wacana interaktif dia mungkin akan konvergen terhadap bahasa lawan bicaranya atau divergen terhadap kode bahasanya sendiri. Keputusan seseorang dalam memilih bahasa atau menggunakan salah satu kode bahasa bergantung pada ongkos (cost) atau reward yang dipersepsikan akan diperolehnya.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa, antara lain:
1. Kemampuan penutur, biasanya penutur akan lebih banyak menggunakan bahasa yang lebih dikuasainya.
2. Kemampuan pendengar, biasanya penutur juga cenderung menggunakan bahasa yang digunakan oleh pendengar, hal ini terjadi apabila penutur sama-sama menguasai bahasa pertama dan kedua.
3. Umur, Orang yang lebih dewasa cenderung menggunakan bahasa kedua untuk menunjukkan rasa kepemilikannya terhadap suatu tempat.
4. Status social, pada situasi tertentu seseorang akan menggunakan suatu bahasa yang menunjukkan strata social yang tinggi.
5. Derajat hubungan, terkadang seseorang menggunakan suatu bahasa pada pertemuan pertama, namun menggunakan bahasa yang lain ketika hubungannya sudah semakin dekat.
6. Hubungan etnis, seseorang terkadang berbicara suatu bahasa dengan orang se-etnis. Dan berbicara bahasa lain dengan orang yang berlainan etnis.
7. Tekanan dari luar, apabila suatu bahasa tidak disukai dalam suatu masyarakat karena suatu sebab, maka pemilik bahasa ini hanya akan menggunakan bahasanya dalam rumah seperti sembunyi-sembunyi.
8. Tempat, terkadang pemilihan bahasa dengan menggunakan asas pembagian integrative. Menggnakan bahasa pertama didalam rumah, dan bahasa kedua diluar rumah misalnya.
C. Perspektif Sosiolinguistik tentang Pemilihan Bahasa
Sosiolinguistik melihat fenomena pemilihan bahasa sebagai fakta sosial dan menempatkannya dalam sistem lambang (kode), sistem tingkah laku budaya, serta sistem pragmatik. Dengan demikian, kajian sosiolinguistik menyikapi fenomena pemilihan bahasa sebagai wacana dalam peristiwa komunikasi dan sekaligus menunjukkan identitas sosial dan budaya peserta tutur.
Dalam kaitannya dengan situasi kebahasaan di Indonesia, kajian pemilihan bahasa dalam masyarakat di Indonesia bertemali dengan permasalahan pemakaian bahasa dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa karena situasi kebahasaan di dalam masyarakat Indonesia sekurang-kurangnya ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu (pada sebagaian besar masyarakat Indonesia), bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bahasa asing. Studi pemilihan bahasa dalam masyarakat seperti itu lebih mengutamakan aspek tutur (speech) daripada aspek bahasa (language). Sebagai aspek tutur, pemakaian bahasa relatif berubah-ubah sesuai dengan perubahan unsur-unsur dalam konteks sosial budaya. Hymes (1972; 1973; 1980) merumuskan unsur-unsur itu dalam akronim SPEAKING, yang merupakan salah satu topik di dalam etnografi komunikasi (the etnography of communication), yang oleh Fishman (1976: 15) dan Labov (1972: 283) disebut sebagai variabel sosiolinguistik.
Hymes (1980) mengemukakan tujuh belas komponen peristiwa tutur (components of speech event) yang bersifat universal. Ketujuh belas komponen itu oleh Hymes diklasifikasikan lagi menjadi delapan komponen yang diakronimkan dengan SPEAKING:
(1) setting and scene (latar dan suasana tutur),
(2) participants (peserta tutur),
(3) ends (tujuan tutur),
(4) act sequence (topik/urutan tutur),
(5) keys (nada tutur),
(6) instrumentalities (sarana tutur),
(7) norms (norma-norma tutur), dan
(8) genre (jenis tutur).
Pandangan Hymes tentang kedelapan komponen peristiwa tutur tersebut merupakan faktor luar bahasa yang menentukan pemilihan bahasa.
D. Faktor-Faktor Penentu Pemilihan Bahasa
Ervin-Trip (dalam Grosjean 1982: 125) mengidentifikasikan empat faktor utama yang menyebabkan pemilihan bahasa, yaitu:
1. Situasi dan latar (waktu dan tempat)
2. Partisipan dalam interaksi, yaitu mencakup hal-hal, seperti: usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, asal, latar belakang kesukuan, dan peranannya dalam hubungan dengan partisipan lain.
3. Topik percakapan
4. Fungsi interaksi.
BAB III
KESIMPULAN
1. Sikap bahasa adalah anggapan atau pandangan seseorang terhadap suatu bahasa, apakah senang atau tidak terhadap bahasa tersebut, sehingga sikap bahasa mempengaruhi terhadap pemilihan bahasa. Lambert menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.
2. Pemilihan bahasa adalah memilih “sebuah bahasa secara keseluruhan” dalam suatu komunikasi. Dalam hal memilih ini ada tiga jenis pilihan yang dapat dilakukan, yaitu, pertama dengan alih kode, artinya, menggunakan satu bahasa pada satu keperluan, dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain. Kedua dengan melakukan campur kode, artinya, menggunakan satu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan-serpihan dari bahasa lain. Ketiga, dengan memlilih satu variasi bahasa yang sama.
3. Perspektif sosiolinguistik tentang pemilihan bahasa adalah Sosiolinguistik melihat fenomena pemilihan bahasa sebagai fakta sosial dan menempatkannya dalam sistem lambang (kode), sistem tingkah laku budaya, serta sistem pragmatik. Dengan demikian, kajian sosiolinguistik menyikapi fenomena pemilihan bahasa sebagai wacana dalam peristiwa komunikasi dan sekaligus menunjukkan identitas sosial dan budaya peserta tutur
4. Faktor-Faktor pemilihan bahasa yaitu:
a. Situasi dan latar (waktu dan tempat).
b. Partisipan dalam interaksi, yaitu mencakup hal-hal, seperti: usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, asal, latar belakang kesukuan, dan peranannya dalam hubungan dengan partisipan lain.
c. Topik percakapan.
d. Fungsi interaksi.
DAFTAR PUSTAKA
Lambert, W. E. A. Social Psichology Of Bilingualism. Journal Of Social Issues 23.
Chaer, A. Dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Garvin, P.L Dan M. Mathiot. 1968. The Urbanization Of The Gurani Language : Problem In Language And Culture.
Kartomiharjo, S. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Dikbud.
Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kapita Selekta Sosiolinguistik. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.
Dimyathi, Afifudun. 2010. Ilmu Al-Lughah Al-Ijtima’I. Surabaya: Dar Al-Ulum Al-Lughawiyyah.

Dongeng si kancil dan siput



                                                                                      SI KANCIL & SIPUT
Pada suatu hari si kancil nampak ngantuk sekali. Matanya serasa berat sekali untuk dibuka. “Aaa....rrrrgh”, si kancil nampak sesekali menguap. Karena hari itu cukup cerah, si kancil merasa rugi jika menyia-nyiakannya. Ia mulai berjalan-jalan menelusuri hutan untuk mengusir rasa kantuknya. Sampai di atas sebuah bukit, si Kancil berteriak dengan sombongnya, “Wahai penduduk hutan, akulah hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar di hutan ini. Tidak ada yang bisa menandingi kecerdasan dan kepintaranku”. Sambil membusungkan dadanya, si Kancil pun mulai berjalan menuruni bukit. Ketika sampai di sungai, ia bertemu dengan seekor siput. “Hai kancil !”, sapa si siput. “Kenapa kamu teriak-teriak? Apakah kamu sedang bergembira?”, tanya si siput. “Tidak, aku hanya ingin memberitahukan pada semua penghuni hutan kalau aku ini hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar”, jawab si kancil dengan sombongnya.“Sombong sekali kamu Kancil, akulah hewan yang paling cerdik di hutan ini”, kata si Siput. “Hahahaha......., mana mungkin” ledek Kancil. “Untuk membuktikannya, bagaimana kalau besok pagi kita lomba lari?”, tantang si Siput. “Baiklah, aku terima tantanganmu”, jawab si Kancil. Akhirnya mereka berdua setuju untuk mengadakan perlombaan lari besok pagi.Setelah si Kancil pergi, si siput segera mengumpulkan teman-temannya. Ia meminta tolong agar teman-temannya berbaris dan bersembunyi di jalur perlombaan, dan menjawab kalau si kancil memanggil.Akhirnya hari yang dinanti sudah tiba, kancil dan siput pun sudah siap untuk lomba lari. “Apakah kau sudah siap untuk berlomba lari denganku”, tanya si kancil. “Tentu saja sudah, dan aku pasti menang”, jawab si siput. Kemudian si siput mempersilahkan kancil untuk berlari dahulu dan memanggilnya untuk memastikan sudah sampai mana si siput.Kancil berjalan dengan santai, dan merasa yakin kalau dia akan menang. Setelah beberapa langkah, si kancil mencoba untuk memanggil si siput. “Siput....sudah sampai mana kamu?”, teriak si kancil. “Aku ada di depanmu!”, teriak si siput. Kancil terheran-heran, dan segera mempercepat langkahnya. Kemudian ia memanggil si siput lagi, dan si siput menjawab dengan kata yang sama.”Aku ada didepanmu!” Akhirnya si kancil berlari, tetapi tiap ia panggil si siput, ia selalu muncul dan berkata kalau dia ada depan kancil. Keringatnya bercucuran, kakinya terasa lemas dan nafasnya tersengal-sengal.Kancil berlari terus, sampai akhirnya dia melihat garis finish. Wajah kancil sangat gembira sekali, karena waktu dia memanggil siput, sudah tidak ada jawaban lagi. Kancil merasa bahwa dialah pemenang dari perlombaan lari itu.Betapa terkejutnya si kancil, karena dia melihat si siput sudah duduk di batu dekat garis finish. “Hai kancil, kenapa kamu lama sekali? Aku sudah sampai dari tadi!”, teriak si siput. Dengan menundukkan kepala, si kancil menghampiri si siput dan mengakui kekalahannya. “Makanya jangan sombong, kamu memang cerdik dan pandai, tetapi kamu bukanlah yang terpandai dan cerdik”, kata si siput. “Iya, maafkan aku siput, aku tidak akan sombong lagi”, kata si kancil.
TRANSLETNYA
On one day the deer appear sleepy. His eyes seemed heavy to open. "Aaa .... rrrrgh", the occasional deer seem to evaporate. Because the day is sunny, the deer feel the loss if the waste. He started walking around the forest track to drive drowsiness. Up on a hill, the hare shouted arrogantly, "O forest dwellers, I am the most intelligent animals, clever and smart in this forest. No one can match the intelligence and my intelligence ". As he puffed out his chest, the hare was off and running down the hill. When we reached the river, he met a snail. "Hi deer!", Greeted the snail. "Why are you shouting? Whether you're happy? ", Said the snail. "No, I just want to inform on all forest-dwelling animal that I was the most intelligent, clever and smart," replied the deer with his arrogant.
"Arrogant once you hare, I am the smartest animals in the forest," said the Snail. "Hahahaha ......., which may be" jeered Kancil. "To prove it, why do not we race tomorrow morning?", Challenged the Snail. "Okay, I accept your challenge," said the hare. Eventually they both agreed to hold a race tomorrow morning. After the hare go, the snail soon gather his friends. He asked for help to his friends lined up and hide in the race track, and respond if the deer call.
Finally, the awaited day has arrived, deer and slugs were ready to race. "Are you ready for a race run with me", said the deer. "Of course I have, and I would win," said the snail. Then the deer slug invited to run in advance and called to make sure it is up to where the snails.
Deer casually walking, and felt confident that he will win. After several steps, the deer tried to call the snail. "Snails .... Where you been up to?", Cried the deer. "I'm in front of you!", Cried the snail. Deer amazed, and immediately sped up. Then he called the snail again, and the snail replied with the same word. "I have front of you!" Finally, the deer ran, but he is calling each of the snails, he always comes up and says that he's the next deer. Sweat profusely, his legs felt weak and panting breath.
Deer ran on, until finally he saw the finish line. Deer are very happy face, because when he called slugs, have no answers anymore. Hare felt that he was the winner of that race.
How surprised the deer, because he saw the snails have been sitting on a rock near the finish line. "Hi deer, why are you so long? I've come from that! ", Cried the snail. With bowed heads, the deer over to the slug and conceded defeat. "So do not be arrogant, you are cunning and clever, but you are not the most intelligent and ingenious," said the snail. "Yeah, I'm sorry snail, I would not arrogant anymore", said the deer.

Sejarah



1.andaikata aku seorang belanda
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Suardi Suryaningrat. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom Ki Hajar Dewantara (Suardi Suryaningrat) yang paling terkenal adalah "Andaikata Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik eens Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker, tahun 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Suardi Suryaningrat sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap Douwes Dekker berperan dalam memanas-manasi Suardi untuk menulis dengan gaya demikian.
2.faktor intern
Bagi negara-negara di Asia dan Afrika, abad ke-20 merupakan abad nasionalisme, yaitu suatu kurun waktu yang ditandai dengan pertumbuhan kesadaran sebagai suatu bangsa serta gerakan nasionalis untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Tak terkecuali di Indonesia, awal abad ke-20 kebangkitan nasionalisme mulai muncul yang dimanifestasikan dalam bentuk pergerakan nasional.
Proses kebangkitan pergerakan nasional Indonesia dipengaruhi atau dipercepat oleh beberapa faktor, baik faktor dari dalam (intern) maupun faktor dari luar (ekstern). Faktor intern timbulnya pergerakan nasional Indonesia sebagai berikut:
a.      Penderitaan rakyat Indonesia akibat penjajahan Belanda
Secara ekonomi, Belanda mulai berkuasa di Indonesia sejak tahun 1602 dengan didirikannya VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Dengan sistem monopoli perdagangan, Belanda mengeruk kekayaan Indonesia untuk kemudia dipergunakan membangun negaranya yang miskin. Ketika VOC dibubarkan dalam tahun 1799, telah meninggalkan penderitaan bagi rakyat Indonesia dalam lapangan ekonomi.
Penderitaan dan kesengsaraan rakyat semakin meningkat dengan diberlakukannya Cultuur Stelsel (Sistem Tanam Paksa) pada tahun 1833 hingga rahun 1870. Tak terhitung banyaknya korban akibat sistem ini. Dihapuskannya Cultuur Stelsel pada tahun 1870 tidak mengurangi penderitaan rakyat Indonesia. Politik Drainase (mengeruk kekayaan sebesar-besarnya) yang diberlakukan sejak tahun 1870 justru semakin menyengsarakan rakyat.
Memasuki abad ke-20 meskipun terlihat kemajuan dalam bidang pendidikan akibat diterapkannya Politik Etis, namun sebenarnya tidaklah mengurangi beban penderitaan rakyat. Golongan cendekiawan dan terpelajar yang menyadari hal ini, lalu mengupayakan cara untuk segera mengakhiri penjajahan Belanda di Indonesia. Belajar dari kegagalan perlawanan masa lampau, mereka kemudian memikirkan untuk melakukan perjuangan secara terpadu, tidak hanya bertumpu pada kharisma pemimpin, dan ditempuh dengan cara yang lebih modern, yakni melalui organisasi pergerakan nasional.
b.      Timbulnya lapisan sosial baru dalam masyarakat
Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai menjalankan politik pintu terbuka (Open deur Politiek) di wilayah jajahannya. Kebijakan yang dilatari oleh tuntutan kaum humanis dan golongan liberal yang berkuasa di negeri Belanda ini, bermakna bahwa di Hindia Belanda telah terjadi perubahan imperialisme, dari imperialisme kuno ke imperialisme modern.
Politik kolonial yang kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat mengundang berbagai kritik, terutama dari van Deventer. Karangannya yang berjudul “Een Eerschuld” (Debt of Honour atau Suatu Hutang Budi) kemudian menjadi landasan pelaksanaan Etische Politiek (Politik Etis). Salah satu realisasi dari Politik Etis ini adalah didirikannya sekolah-sekolah di Indonesia. Sekolah yang pertama bernama Klerken School yang khusus disediakan untuk calon-calon pegawai Belanda dan kaum modal asing.1)
Imperialisme modern yang dijalankan oleh Belanda ini menyebabkan munculnya suatu lapisan baru dalam masyarakat Indonesia, yaitu golongan terpelajar (cendekiawan), para pegawai pemerintah Belanda, dan para pedagang atau pengusaha tingkat menengah. Ketiga golongan baru ini merupakan lapisan menengah (middle class) dalam stratifikasi masyarakat kolonial. Lapisan bawah adalah para petani, pedagang kecil, dan pegawai rendahan yang merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia yang umumnya hidup melarat. Sedangkan lapisan atas dimonopoli oleh bangsa kulit putih (Belanda).
Dari lapisan sosial baru inilah muncul pemimpin-pemimpin rakyat yang menjadi pelopor perjuangan dalam bentuk pergerakan nasional. Misalnya golonga terpelajar mendirikan organisasi Budi Utomo di Indonesia dan Indische Vereeniging di Belanda pada tahun 1908. Golongan pedagang mendirikan SDI (Sarekat Dagang Islam) pada tahun 1905. Dan para pegawai Hindia Belanda membentuk PPPB (Persatuan Pegawai Pegadaian Bumi Putera) dalam tahun 1914.2) Ketiga golongan ini, terutama golongan terpelajar memainkan peran yang sangat besar dalam dekade awal pertumbuhan pergerakan nasional.
c.       Undang-undang Desentralisasi
Pada tahun-tahun permulaan abad ke-20, pasifikasi terhadap daerah-daerah di luar Jawa telah berakhir, sehingga terwujud Pax Neerlandica, yakni suatu wilayah jajahan yang luas dan dikuasai oleh Belanda secara aman dan terkendali. Keadaan ini diikuti pula dengan perkembangan ekonomi yang pesat dan perluasan jabatan-jabatan pemerintah kolonial secara besar-besaran di Indonesia.
Penguasaan terhadap daerah yang amat luas itu tidak mungkin lagi dapat diselenggarakan secara baik oleh pemerintah pusat di Batavia. Untuk mengatasinya dikeluarkanlah Undang-undang Desentralisasi 1903 yang antaranya berisi tentang pembentukan kotapraja (gemeente atau haminte) dan dewan-dewan kotapraja. Kebijakan ini memperkenalkan rakyat Indonesia akan tata cara demokrasi yang modern.3)
Dengan adanya Undang-undang Desentralisasi tersebut pemerintah mulai memberikan otonomi yang lebih banyak kepada pemerintah daerah dan mendirikan badan-badan perwakilan rakyat. Orang-orang Indonesia juga diberi kesempatan untuk duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat Lokal bersama-sama dengan orang-orang kulit putih dan ikut serta dalam pemerintahan daerah meskipun dengan hak-hak yang terbatas.
Sebenarnya UU tersebut hanya mewujudkan demokratisasi dalam arti minimal. Dewan-dewan daerah tidak mampu mencapai rakyat, karena anggotanya meyoritas orang-orang kulit putih seperti yang dikutip oleh Sartono Kartodirdjo bahwa Dewan Haminte Batavia terdiri atas 15 orang Eropa, 7 orang pribumi, dan 3 orang timur asing.4)
Meskipun demikian, kesempatan tersebut dipergunakan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia. Keterlibatan mereka dalam pemerintah daerah memberi pengalaman berharga dalam bidang politik serta menimbulkan harga diri sebagai bangsa yang sederajat dengan bangsa kulit putih. Hal ini kemudian menjadi salah satu faktor pendorong timbulnya pergerakan nasional.
d.      Aksi golongan peranakan
Golongan peranakan atau golongan Indo merupakan golongan tersendiri dalam struktur masyarakat kolonial yang terjadi akibat perkawinan campuran antara Belanda dengan wanita pribumi yang biasanya berstatus sebagai gundik.
Secara formal golongan Indo masuk status Eropa dan mereka cenderung untuk mengidentifikasikan diri sebagai bangsa kulit putih sehingga menjauhkan dirinya dari lapisan masyarakat pribumi. Umumnya mereka bekerja dalam kemiliteran, pegawai menengah pada instansi-instansi pemerintah atau perusahaan swasta asing. Namun di kalagan Belanda sendiri ada diskriminasi antara totok dan Indo, yang tidak semata-mata berdasarkan kemurnian darah tapi juga karena perbedaan status sosialnya.5)
Perbedaan perlakuan oleh penjajah Belanda menimbulkan perasaan tidak puas sehingga mendorong timbulnya rasa persatuan untuk memperbaiki basib. Aksi golongan peranakan ini turut pula memengaruhi kebangkitan pergerakan nasional Indonesia.
3.faktor ekstern
Pengaruh Gerakan Pan Islam
Pan Islamisme dalam pengertian yang luas adalah kesadaran kesatuan umat Islam yang diikat oleh kesamaan agama yang membentuk solidaritas sedunia, sedangkan dalam pengertian khusus adalah gerakan yang bertujuan mempersatukan seluruh umat Islam.1)
Gerakan reformasi Islam yang mula-mula berkembang di Timur Tengah ini adalah sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan imperialisme Barat yang merajai Asia pada awal abad ke-20. Dua tokoh terkemuka dari gerakan ini adalah Sayid Jamaluddin al-Afgani dan Syekh Muhammad Abduh, kalau Jamaluddin al-Afgani menekankan pada bidang politik, maka Syekh Muhammad Abduh mengutamakan pembaharuan dalam bidang pendidikan menurut alam pikiran modern dengan tujuan membangkitkan semangat umat Islam.
Pengaruh Pan Islam terhadap kebangkitan pergerakan nasional Indonesia diceriterakan oleh Pieter Korver bahwa pada tahun-tahun permulaan abad ke-20, suatu gerakan reformasi Islam yang berpengaruh mulai tumbuh di Indonesia, sebagai suatu bagian yang hakiki dari perjuangan pergerakan nasional kepulauan tersebut pada waktu itu. Diilhami oleh ahli fikir Islam yang berhaluan modern, seperti Muhammad Abduh (1849-1905) dan Jamal Al-din Al-Afghani (1939-1897) di Timur Tengah.2)
Selanjutnya Zaifuddin Zuhri juga menegaskan bahwa pergerakan yang terjadi di Mesir sangat diperhatikan oleh para pemimpin di Indonesia pada permulaan abad ke-20.3) Sebagai bukti pengaruh gerakan Pan Islam terhadap Indonesia adalah munculnya organisasi pergerakan nasional, seperti Al-Jam’iyat Al-Khairiyah (1906) dan Muhammadiyah (1912).4)
Dengan demikian salah satu faktor ekstern yang memengaruhi kebangkitan pergerakan nasional Indonesia adalah gerakan Pan Islam yang diterima oleh jemaah haji dan para pelajar dan mahasiswa Indonesia yang belajar pada pusaat-pusat pengetahuan di Timur Tengah yang kemudian memasukkan dan menyebarkan pengaruh gerakan tersebut di Indonesia.
Pengaruh Kemenangan Jepang atas Rusia (1905)
Perang Rusia-Jepang (1904-1905) berakhir dengan kemenangan Jepang ketika pasukan Jepang berhasil mengusir tentara Rusia di Manchuria dan menghancurkan armada Baltik Rusia di laut Jepang. Sekalipun menuntut korban jiwa yang sangat besar dalam suatu pertempuran di darat ketika merebut Port Arthur, maupun dalam pertempuran laut di Tsushima, telah memperkuat kepercayaan Jepang bahwa mereka mampu mengalahkan salah satu bangsa Eropa yang selama itu dianggap mustahil dikalahkan oleh bangsa kulit berwarna.
Kemenangan itu juga membangkitkan semangat bangsa Asia dan mengingkari indoktrinasi yang ditanamkan oleh bangsa Barat selama itu bahwa hanya bangsa Eropalah yang serba bisa. Bangsa Asia sudah ditakdirkan untuk menjadi jajahan bangsa Eropa. Kemenangan Jepang atas Rusia telah membangunkan bangsa Asia, termasuk Indonesia, dari tidurnya yang telah berabad-abad lamanya.5) Hal ini terlihat dengan semakin meningkatnya perjuangan bangsa Asia melawan kolonialisme Barat sesudah tahun 1905.
Pengaruh Pergerakan Nasional Bangsa-bangsa di Asia
Pergerakan nasional Indonesia merupakan bagian dari pergerakan umum bangsa-bangsa Asia menentang imperialisme Barat pada abad ke-20. Sebelum kebangkitan nasional Indonesia, beberapa bangsa di Asia telah membentuk pergerakan nasional dalam usaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Tanda-tanda pertama kebangkitan kesadaran nasional mulai terlihat di Jawa dengan berdirinya berbagai organisasi pergerakan nasional yang pertama. Tak dapat disangkal bahwa pengaruh-pengaruh dari luar berperan dalam mempercepat proses kebangkitan tersebut. Gerakan Turki Muda, revolusi Cina,
dan gerakan nasional di negara-negara tetangga, seperti India dan Filipina, memberi pengaruh besar terhadap perkembangan nasionalisme tersebut, memperbesar kesadaran nasional dan menyebabkan bangsa Indonesia memiliki rasa harga dirinya kembali.
4.sebab periode radikal
Periode radikal merupakan puncak perjuangan pergerakan nasional. Pada periode ini pergerakan nasional dengan tegas mengajukan tuntutannya, yakni Indonesia merdeka dan menolak kerjasama dengan pemerintah kolonial. Mereka beranggapan bahwa dalam upaya melawan imperialisme Belanda, tidak ada alternatif lain, kecuali bergantung pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Sistem kolonial harus diubah secara radikal dan hal ini hanya dapat dilakukan bila mereka menolak kerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda. Karena itulah pergerakan nasional pada periode ini, umumnya berlandaskan pada asas perjuangan non kooperasi. Penyebab organisasi pergerakan bersikap radikal adalah sebagai berikut:
a.      Pengaruh Revolusi Rusia 1917
Pada tahun 1917, golongan Sosial Demokrat Rusia mengadakan kudeta terhadap pemerintah dan berakhir dengan kemenangan pihak komunis dengan mendirikan Republik Rusia yang berhaluan komunis. Peristiwa ini membwa pengaruh terhadap bangsa-bangsa yang terjajah, terlebih setelah dikeluarkannya manifes Partai Komunis Rusia tahun 1919 bahwa bangsa yang terjajah hanya dapat dibebaskan dengan membebaskan kaum buruh di Eropa.
Manifes Partai Komunis Rusia mempengaruhi perkembangan PKI di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada kongres PKI tahun 1920 yang menghasilkan dua keputusan penting, sebagai berikut:
  1. Keputusan yang menyatakan dengan tegas, bahwa PKI di Indonesia menggabungkan diri pada Communistische Internationale (Comintern)
  2. Mengenai sikap ke dalam yakni mengenai turut atau tidaknya PKI dalam Volksraad. PKI mengambil keputusan dalam kongresnya bahwa PKI suka bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda dengan jalan mengirimkan anggotanya sebagai anggota-anggota dalam Volksraad.1)
Keputusan PKI untuk mengirimkan wakilnya ke dalam Volksraad bukan berarti partai tersebut bersikap moderat. Itu hanya merupakan taktik agar dapat melancarkan kritikannya secara terang-rerangan. Dan memang pada kenyataannya keinginan itu ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sikap radikal PKI makin jelas kelihatan dengan adanya keputusan kongres tersebut. Pada tahun 1922, pemimpin PKI, Tan Malaka, mengerahkan buruh pegadaian suatu aksi pemogokan. Dan pada tahun berikutnya, pemimpin PKI lainnya (Semaun) juga memimpin pemogokan buruh trem dan kereta api. Kesmuanya ini menunjukkan sikap radikal PKI terhdap pemerintah Hindia Belanda.
b.      Kekecewaan terhadap Janji Nopember (November Belofte)
Pada tanggal 16 Nopember 1918, partai-partai yang mempunyai wakil di Volksraad membentuk Konsentrasi Radikal. Konsentrasi Radikal menuntut  diadakannya perubahan dalam ketatanegaraan, antara lain:
  1. Pembentukan Dewan Kerajaan yang terdiri dari wakil-wakil wilayah kerajaan (Nederland dan koloni-koloninya) dengan kedudukan dan hak yang sama;
  2. Mengubah Volksraad menjadi Parlemen dengan hak perundang-undangan dan budget; lain
  3. Mengubah Raad van Indie (Dewan India) menjadi Raad van Staat (semacam senat di Amerika Serikat);
  4. Kepala-kepala Departemen bertanggung jawab kepada Volksraad yang telah diubah menjadi parlemen; 
  5. Perluasan otonomi sampai ke desa-desa dan daerah luar Jawa.2)
Banyaknya tuntutan dari kaum pergerakan, khusunya Konsentrasi Radikal di Volksraad menyebabkan pemerintah Hindia Belanda merasa kerepotan. Terlebih lagi saat itu golongan sosialis di negeri Belanda yang dipimpin oleh Troelstra mengadakan kudeta. Gebernur Jenderal van Limburg Stirum khawatir kalau keadaan ini dijadikan kesempatan oleh kaum pergerakan untuk menumbangkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Untuk menghilangkan kekhawatiran tersebut, van Limburg Stirum pada tanggal 18 Nopember 1918 menyampaikan pesan kepada Volksraad antara lain mengatakan janji akan adanya keinginan pihak pemerintah untuk mengadakan perubahan ketatanegaraan yang berarti dan secepatnya.3) Janji ini kemudian dikenal dengan Janji Nopember (November Belofte).
Untuk membuktikan bahwa janji tersebut sungguh-sungguh, selanjutnya dibentuk panitia peninjauan kembali susunan kenegaraan Hindia Belanda. Hal ini oleh pihak Indonesia dianggap sebagai tanda kemauan baik pemerintah menghadapi tuntutan rakyat Indonesia.
Setelah keadaan di negeri Belanda dapat dikuasai kembali, bukannya janji tersebut berusaha direalisasikan, malah van Limburg Stirum mendapat kecaman dari pemerintah Belanda karena mengeluarkan janji tanpa persetujuan dari pemerintah pusat di Nederland. Hingga akhirnya janji tersebut tidak pernah terwujud seperti yang diharapkan oleh pihak Indonesia.
Kekecewaan terhadap Janji Nopember ini menyebabkan kaum pergerakan mengambil sikap radikal. Mereka sadar bahwa kemerdekaan tidak mungkin tercapai dengan menggantungkan harapan kepada Belanda.
c.       Pengaruh Doktrin Wilson 
Perang Dunia (1914-1918) telah membawa pergeseran peta politik di hampir seluruh dunia, terutama setelah dikeluarkannya Doktrin Wilson (Wilson’s Fourteen Points). Salah satu pasal disebutkan tentang hak seluruh bangsa menentukan nasibnya sendiri (right of self determinatioan). Semboyan ini menggema di seluruh dunia terutama di tanah jajahan, sehingga menimbulkan harapan yang besar.4)
Didasari oleh pernyataan tersebut, organisasi pergerakan nasional Indonesia mulai menunjukkan sikap radikalnya terhadap pemerintah Hindia Belanda. Misalnya Indonesische Vereeniging sejak tahun 1922 mengemukakan asas perjuangannya, yaitu self-help (menolong diri sendiri) dan self-reliance (percaya pada diri sendiri).
… politik meminta-minta akan ditinggalkan dan sebagai politik terahadap pemerintah yang tidak mau mengindahkan ucapan Wilson akan dijalankan politik non-kooperasi atau tidak bekerjasama dengan pemerintah penjajah. Nasionalisme yang radikal harus dijadikan senjata yang tajam dan ampuh dalam perjuangan oleh bangsa-bangs yang terjajah dan semboyan “Hak menentukan nasib sendiri”, dijadikan dasar yang sah untuk tuntutan dengan ditopang oleh tekad yang bulat dan tenaga yang besar dan kuat dan tersusun baik.5)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Doktrin Wilson turut pula memengaruhi sehingga pergerakan nasional bersikap radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda.
d.      Perubahan pasal 111 RR (Regerings Reglement) 
Pasal 11 Regerings Reglement atau Peraturan Pemerintahan yang mulai diberlakukan di Hindia Belanda sejak tahun 1854 berisi tentang larangan mengadakan perkumpulan yang bersifat politik. Itulah sebabnya organisasi pergerakan yang muncul di awal abad ke-20 umumnua bersifat ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan agama. Walau demikian itu bukan berarti bahwa organisasi tersebut tidak berorientasi politis, setiap pergerakan yang programnya menuju kemajuan bangsanya tidaklah dapat dilepaskan dari cita-cita politik.
Pada tanggal 1 September 1919 pasal 111 RR dirubah dalam arti hak berserikat diakui penuh, termasuk mengenai perkumpulan politik meskipun hak tersebut dibatasi.6) Hal ini berdasarkan Keputusan Raja (Koninklijk Besluit) tertanggal 17 Desember 1919 yang dalam pasal 3 melarang perkumpulan-perkumpulan yang tujuan dirahasiakan dan yang oleh Gubernur Jenderal dinyatakan bertentangan dengan keamanan umum.
Perubahan ini memberi kesempatan bagi beridirinya organisasi politik, bagi organisasi pergerakan yang sudah ada merupakan peluang untuk memainkan peran politis secara nyata. Organisasi-organisasi pergerakan mulai melancarkan kritikan-kritikannya terhadap pemerintah Hindia Belanda secara terang-terangan. Radikalisme dalam organisasi pergerakan berkembang dan memainkan peran yang aktif selama dasawarsa 20-an.
e.       Pergantian Gubernur Jenderal Hindia Belanda 
Pada tahun 1921, Gubernur Jenderal van Limburg Stirum berakhir masa jabatannya dan digantikan oleh D. Fock. Gubernur Jenderal D. Fock bersikap sangat reaksioner terhadap pergerakan nasional. Dia dilukiskan oleh kaum pergerakan sebagai seorang yang lebih banyak memperlamban tempo daripada mengubah haluan. Sifat konsenvatif D. Fock ini sangat mengherankan banyak pihak terutama kaum pergerakan, karena pada saat menjabat sebagai Menteri Urusan Jajahan (1905-1908), ia menunjukkan sikap yang etis terhadap pergerakan nasional. Kemungkinan sikap ini berkaitan dengan tugas yang diembannya, harus menanggulangi krisis ekonomi dengan cara penghematan anggaran tanah jajahan dan menaikkan pajak sebagai sumber keuangan negara, atau memang sengaja didatangkan untuk membendung kemajuan organisasi pergerakan.
Sikap D. Fock tersebut menimbulkan kekecewaan pada golongan terpelajar, karena harapannya D. Fock dakan memberi arah baru bagi pergerakan, tetapi kenyataannya malah ada kecurigaan terhadap organisasi pergerakan dan menentang perluasan kekuasaan pribumi. Cara pemerintahan D. Fock bukannya melunakkan aktivitas kaum pergerakan, justru sebaliknya kaum pergerakan semakin radikal.
f.       Pemakaian kata “Indonesia” sebagai identitas bangsa
Kata “Indonesia” pertama kali digunakan oleh organisasi Indonesische Vereeniging, yakni pada saat rapat pergantian pengurus Indische Vereeniging dalam bulan April 1922. Rapat ini  menghasilkan keputusan penting, yaitu mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti nama Nederland-Indie dengan Indonesia.7)
Sebelumnya kata tersebut pernah dipakai oleh seorang ethnolog Inggris, Logan (1850) dalam tullisannya yang berjudul “The Ethnology of Indian Archipelago”. Demikian pula dalam buku van Vollenhoven dikenal kata-kata “Indonesier” dan afektif “Indonesisch”, tetapi kata Indonesia sebagai tanah air adalah ciptaan Indonesische Vereeniging.
Kata “Indonesia” selanjutnya diperkenalkan dan dimasyarakatkan, menggantikan kata “Indie” atau “Inlander” yang digunakan Belanda. Kata ini memperlihatkan identitas kebangsaan yang lebih tegas, semakin memperjelas adanya perbedaan antara bangsa Belanda sebagai penjajah dan Indonesia sebagai yang terjajah.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaum pergerakan menambahkan kata “Indonesia” di belakang nama partai mereka untuk lebih mempertegas corak kenasionalan dan tujuan partai, seperti PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1924. PNI (Partai Nasional Indonesia) tahun 1927. Dan lain-lain. Akhirnya “Indonesia” sebagai identitas bangsa diterima secara menyeluruh oleh rakyat Indonesia setelah diikrarkannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
g.      Ikut sertanya kaum buruh dalam pergerakan nasional 
Pertumbuhan dan perkembangan perjuangan buruh di Indonesia berjalan sejajar dengan perkembangan pergerakan kebangsaan. Diawali dengan Serikat Buruh dari Perusahaan Kereta Api Negara pada tahun 1905. Menyusul organisasi-organisasi buruh selanjutnya, seperti VSTP (Vereeniging van Spoor en Trem Personeel) tahun 1908, PBP (Perhimpunan Bumi Putera Pabean) dan lain-lain.
Pada tahun 1914 aliran sosialisme yang revolusioner mulai tersebar di Indonesia. Aliran ini dipropagandakan oleh seorang Belanda bernama Sneevliet yang datang ke Hindia Belanda sebagai Sekretaris Kamar Dagang Semarang. Bersama dengan seorang Belanda lainnya, Adolf Baars, mereka mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) dan berusaha memperoleh pengikut di kalangan orang Indonesia, di antaranya Semaun dan Darsono yang merupakan anggota Sarekat Islam.
Dengan taktik infiltrasi, mereka berhasil mempengaruhi Sarekat Islam sehingga partai tersebut akhirnya terpecah menjadi dua aliran, yaitu aliran yang tetap mengutamakan keagamaan dan aliran sosialis yang revolusioner. Aliran sosialis inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya PKI (Perserikatan Komunis India) pada tahun 1920. Kekuatan utamanya terletak pada anggota-anggotanya yang berasal dari kalangan buruh, seperti buruh trem dan kereta api, buruh pegadaian, buruh perkebunan, dan lain-lain.
Keikutsertaan kaum buruh dalam pergerakan nasional sangat berarti. Kaum buruh senantiasa tampil sebagai ujung tombak dalam perjuangan pergerakan nasional, khususnya pada periode radikal. Mereka inilah yang diorganisir oleh PKI untuk menunjukkan sikap keradikalannya terhadap pemerintah, seperti pemogokan buruh pegadaian (1922) dan pemogokan buruh trem dan kereta api (1923).





Powered by Blogger.

Labels